KabarNet - Kalau ada beberapa orang/kelompok yang terbiasa plin-plan, “menjilat ludah” sendiri, kemudian membuat sebuah barisan, boleh dong kita sebut barisan itu “koalisi jilat ludah”? 

Satu Februari 2010, 45 tokoh nasional mendeklarasikan organisasi kemasyarakatan (Ormas) Nasional Demokrat (NasDem). Surya Paloh menjadi Pendiri sekaligus Ketua Umum Organisasi Masyarakat (Ormas) Nasional Demokrat. Saat baru didirikan, Surya Paloh tegas mengatakan Nasdem tidak akan menjadi partai. Hal itu menjawab kecurigaan beberapa pihak yang menilai Nasdem adalah kendaraan politik Surya Paloh untuk membentuk partai baru. Banyak kalangan menyebut ormas Nasdem akan menjelma menjadi partai politik.

“Biarlah Nasdem tetap menjadi ormas, tak perlu menjadi partai politik. Kita akan tetap memberikan peluang kepada akademisi, politisi, dan masyarakat luas untuk bergabung,” tegas Surya disela pelantikan pengurus Nasdem Sumatera Barat di Hotel Pangeran Beach, Padang, Jumat 14 Januari 2011.



Rupanya penilaian banyak kalangan itu benar adanya. Pada 26 Juli 2011, didirikan sebuah partai baru bernama sama: Partai Nasional Demokrat (Partai Nasdem). Kesamaan nama ini bukan kebetulan, karena kemudian Surya Paloh mundur dari Ormas Nasdem yang didirikannya dan memilih menjadi Ketua Umum Partai Nasdem. Lewat kongres nasional 25 Januari 2013, Surya Paloh diangkat menjadi Ketua Umum Partai NasDem. Begitu mudah “menjilat ludah”? 


Di barisan yang sama, terdapat PKB yang pernah menilai bahwa Jokowi belum pantas menjadi presiden. Periode Desember 2013 tentu belum begitu lama berlalu. Saat itu wasekjen PKB Abdul Malik Haramain berujar “Saat ini belum ada hasil kerja besar Jokowi di Jakarta, jadi kapasitasnya masih meragukan.” Ia juga mengatakan, “Sebab kami dalam mencari sosok Capres tidak hanya dilihat dari sekadar popularitas dan elektabilitas yang tinggi saja, tapi juga kapasitasnya. Nah ini yang belum dimiliki oleh Jokowi, dalam arti ia belum terbukti kapasitasnya mempimpin institusi besar.”

Tetapi lima bulan berikutnya, partai pimpinan Muhaimin Iskandar ini malah mendukung Jokowi menjadi presiden. 


Selanjutnya pak Jusuf Kalla (JK). Banyak yang heran mengapa Pak JK mau menemani Jokowi menjadi capres. Padahal orang-orang setuju dengan kata-kata yang pernah JK ucapkan tentang Jokowi, “Biarlah DKI dulu, itu masalah popularitas, belum membuktikan mampu mengurus Jakarta.”



Pak JK juga berkata bahwa negara ini bisa hancur kalau jokowi dicalonkan jadi presiden. Tetapi kata-kata yang keluar dari mulut pak Jk menjadi “ludah yang terjilat kembali” karena Pak JK nyatanya malah menjadi cawapres Jokowi. 

Tanggal 19 Desember, merdeka.com pernah mengeluarkan tulisan yang berjudul “Anies Baswedan sebut blusukan Jokowi cuma pencitraan.” Kata-kata Anies Baswedan saat itu adalah “Saya gak mau pencitraan dengan blusukan. Bukan cuma mendengarkan tapi mengajak berubah. Blusukan itu hanya nonton masyarakat. Hanya hadir lalu kesannya sudah melakukan.” Tapi kemudian Anies Baswedan menjadi tim sukses Jokowi. Masuk ke dalam “Koalisi Jilat Ludah.”

Adrinof Chaniago, seorang dosen UI pendukung duet Jokowi-Ahok, juga bersikap sama. Via akun twitternya, ia katakan akan mengecam Jokowi atau Ahok yang berniat tinggalkan jabatannya pada 2014. “Saya akan kecam siapapun dari keduanya kalau tinggalkan jabatan pada 2014!” begitu tulisnya. Tapi saat Jokowi maju menjadi capres, Adrinof Chaniago malah mendukung. Lagi-lagi di barisan itu terdapat “penjilat ludah.”

Dan yang paling spektakuler tentu saja janji Jokowi sendiri bahwa ia akan komit memimpin Jakarta selama lima tahun. Video janjinya beredar di mana-mana. Kenyataannya kini ia maju menjadi capres.



Capres & cawapresnya “JILAT LUDAH.” Pendukungnya pun barisan “PENJILAT LUDAH.” Klop sudah.

Posting Komentar

  1. iya bisa disebut yang seperti demikian.. karena cinta yang berlebihan juga kurang nilai kemaslahatan.. Resep Takjil Ramadhan Bubur Kacang Polong

    BalasHapus